Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita (Budimulja, 2005).
Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton (Madani, 2000). Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2005).
II. 1. Dermatofita
Menurut Madani (2000) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.
A. Tinea Kapitis
Dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut ini umumnya menyerang anak prapubertas. Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke folikel rambut yang selanjutnya akan menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut, bergantung pada spesiesnya (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) ada tiga bentuk klinis tinea kapitis, yaitu :
1. Grey patch ringworm
Bentuk ini terutama disebabkan oleh Microsporum audouinii (Mulyono, 1986). Bentuk ini ditemukan pada anak-anak dan biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil di sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai grey patch. Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-batasnya dengan pasti bila tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan fluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-batas yang sakit dapat terlihat jelas.
Gambar 1. Grey Patch Ringworm (Sumber : Kao, 2005)
2. Kerion
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis (Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.
Gambar 2. Kerion (Sumber : Kao, 2005)
3. Black dot ringworm
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam.
Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005).
B. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang kulit halus dan kuku dapat terkena.
Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut permanen.
Penegakan diagnosis tinea favosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, air bubbles yang bentuknya tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (dull green) (Madani, 2000).
C. Tinea Korporis
Tinea korporis atau tinea sirsinata adalah infeksi jamur golongan dermatofita (berbagai spesies Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan lengan dan mempunyai gambaran morfologi yang khas (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) penyebab tersering penyakit ini adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.
Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk bulat, berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf) dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda peradangannya daripada bagian tengah. Beberapa lesi dapat bergabung dan membentuk gambaran polisiklis. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi. Pada kasus dermatofitosis dengan gambaran klinis tidak khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 % (Daili, dkk., 2005).
Gambar 3. Tinea korporis (Sumber : Lesher, 2004)
Diagnosis banding tinea korporis adalah morbus hansen, pitiriasis rosea dan neurodermatitis sirkumskripta (Siregar, 2005).
D. Tinea Imbrikata
Tinea imbrikata adalah dermatofitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton concentricum. Di indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara lain Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur, terutama pada masyarakat terasing. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga diturunkan secara genetik dengan pola penurunan autosomal resesif.
Gambaran klinis pada kulit berupa lingkaran-lingkaran konsentris terdiri atas lesi papuloskuamosa, dengan stratum korneum yang lepas sisi bebasnya menghadap ke arah dalam lesi, sehingga tampak tersusun seperti genting. Pada keadaan kronik rasa gatal tidak menonjol (Daili, dkk., 2005).
E. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebabnya biasanya adalah Epidermophyton floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Trichophyton rubrum.
Gambaran klinik biasanya adalah lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri. Mula-mula lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama-kelamaan meluas sehingga dapat meliputi skrotum, pubis, glutea bahkan sampai paha. Tepi lesi aktif, polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil.
Diagnosis banding tinea kruris meliputi dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis kontak dan psoriasis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung memakai larutan KOH 10-20 % (Madani, 2000; Siregar, 2005).
Gambar 5. Tinea Kruris (2) (Sumber : Wiederkehr, 2004)
F. Tinea Manus dan Pedis
Tinea manus dan pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum.
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan (Madani, 2000).
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk klinis tinea manus dan pedis yang sering dijumpai, yakni :
1. Bentuk intertriginosa
Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, selulitis dan erisipelas yang disetai gejala-gejala umum.
2. Bentuk vesikular akut
Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
3. Bentuk mocassin foot
Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Diagnosis banding untuk tinea manus adalah dermatitis kontak alergika, dermatitis dishidrotik dan dermatitis numularis. Diagnosis banding untuk tinea pedis adalah kandidiasis, akrodermatitis perstans dan pustular bacterid (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen jamur (Madani, 2000).
G. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita. Penyebab penyakit yang tersering adalah Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum.
Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa
nyeri dan gatal.
Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar penyembuhannya (Madani, 2000).
Gambar 6. Tinea Unguium (Sumber : Anonim, 2003)
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk gejala klinis tinea unguium, yakni :
1. Bentuk subungual distalis
Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.
2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita
Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur.
3. Bentuk subungual proksimal
Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.
Diagnosis banding adalah onikodistrofi oleh karena kandida albikans, onikodistrofi akibat trauma dan psoriasis pada kuku (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur (Madani, 2000).
II. 2. Pengobatan Topikal
Menurut Djuanda (1994) ada dua pedoman dalam pengobatan topikal, yaitu :
1. a. Basah dengan basah
Berarti jika dermatosis basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan peradangan hebat.
b. Kering dengan kering
Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep.
2. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai
Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang kuat, yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.
Menurut Hamzah (2005) prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahan dasar (vehikulum)
Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair atau basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat atau kering, misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu cairan, bedak dan salep. Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok (lotion), krim, pasta dan linimen.
a. Cairan
Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol). Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan atau pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis. Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti. Kalau keadaan sudah mulai kering, maka pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Kompres terdiri dari dua macam, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup. Kompres terbuka dasarnya adalah penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus. Indikasinya meliputi dermatosis madidans, infeksi kulit dengan eritem yang mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta (Hamzah, 2005). Menurut Hardyanto (1990) cara ko
mpres bekerja pada radang akut melalui :
1) Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan eritem berkurang.
2) Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum dan udem berkurang.
3) Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang makanan untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta.
Kompres tertutup (kompres impermeabel) dasarnya adalah vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Indikasinya ialah kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venereum (Hamzah, 2005).
b. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat erat sehingga penetresinya sedikit sekali. Efek bedak ialah mendinginkan, antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, antipruritus lemah, mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis. Pengobatan dengan bedak yang diharapkan terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talkum venetum. Bedak biasanya dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak ialah dermatosis yang kering dan superfisial, mempertahankan vesikel atau bula agar tidak pecah. Kontraindikasinya adalah dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder (Hamzah, 2005). Jika terjadi eksudat atau pus, maka campuran bedak dengan eksudat merupakan adonan yang memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 1994).
c. Salep
Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik, dermatosis yang dalam dan kronik dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak dianjurkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh (Hamzah, 2005).
d. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi kering maka jumlah zat padat maksimal 40 % dan jumlah gliserin 10 – 15 %. Hal ini berarti jika beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan terlampaui. Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering, superfisial dan agak luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut. Kontraindikasinya ialah dermatitis madidans dan daerah badan yang berambut (Hamzah, 2005).
e. Krim
Krim adalah emulsi O/W (oil in water) atau W/O (water in oil). Kombinasi antara minyak dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi W/O atau O/W, bergantung pada susunan komponen di atas. Krim W/O (cold cream) lebih cocok dipakai waktu malam karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/W (vanishing cream) lebih cocok dipakai waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani, 2000). Indikasi digunakan krim ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut dan luas, dan boleh digunakan di daerah yang berambut. Kontraindikasi untuk krim W/O ialah dermatitis madidans (Hamzah, 2005).
f. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah. Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu melekat (Hamzah, 2005). Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan pembersihannya lebih sulit (Madani, 2000).
g. Linimen
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salep. Indikasi penggunaanya yaitu pada dermatosis yang subakut. Kontraindikasinya yaitu dermatosis madidans (Hamzah, 2005).
Menurut Hamzah (2005) ada vehikulum lain yaitu gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel di antaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.
2. Bahan aktif
Pemilihan obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko-kimia permukaan kulit, di samping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek vehikulum terhadap kulit.
Bahan-bahan aktif yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di antaranya ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam salisilat, asam undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain, benzil benzoat, camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padofilin, selenium disulfid, sulfur, ter, tiosulfas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antifungal (Djuanda, 1994; Hamzah, 2005).
II. 3. Obat Antijamur Topikal
Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah obat yang aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk kuku dan mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa menyertai infeksi jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri).
Obat topikal yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme kerjanya meliputi :
1. Bahan kimia antiseptik
Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat mengeringkan, misalnya Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan untuk kasus tinea kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat dindikasikan untuk tinea unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis (Kuswadji dan Widaty, 2001; Siregar, 2005).
2. Bahan keratolitik
Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep Whitefield mengandung asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum, dikatakan efektif bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 %. Asam salisilat pada konsentrasi rendah (1 – 2 %) berefek keratoplastik, konsentrasi tinggi (3 – 20 %) berefek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan-kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3 – 6 % dalam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan seng oksida karena akan terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Hamzah, 2005; Siregar, 2005).
3. Golongan allilamin
Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Naftitin merupakan obat antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang sintetis. Dapat menurunkan ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur. Pada konsentrasi 1 % memiliki daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim, g
el atau solusio 1 %. Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea pedis dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 % atau 2 kali sehari dalam bentuk gel 1 %. Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur yang menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak. Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis baik dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 – 4 minggu. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim (Cholis, 2001; Kuswadji dan Widaty, 2001; Lesher, 2004; Rubiez, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat naftitin yaitu exoderil dan contoh nama merk dagang obat terbinafin yaitu interbi, lamisil dan termisil (Evaria, 2005).
4. Golongan benzilamin
Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin yang bersifat fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton rubrum yang menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin bekerja pada stadium yang lebih dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi skualen dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin menyebabkan masa pengobatan yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat butenafin adalah mentax (Cholis, 2001; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
5. Golongan imidazol
Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi bekerja fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran sel (Gonzales, 1987 cit Hardyanto, 1990; Cholis, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003). Golongan imidazol meliputi :
a. Mikonazol
Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 %, bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 2 % atau bedak kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin, mexoderm dan daktarin (Evaria, 2005).
b. Klotrimazol
Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol yaitu canesten, lotremin dan fungiderm (Evaria, 2005).
c. Ketokonazol
Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral (1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 2 %. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 2 % (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat ketokonazol yaitu formyco, nizoral dan mycozid (Evaria, 2005).
d. Ekonazol
Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor diganti oleh atom H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif terhadap Aspergillus. Obat ini efektif untuk infeksi kutaneus. Titik tangkapnya berhubungan dengan metabolisme sintesis RNA dan protein, mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat ekonazol adalah pevaryl (Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
e. Oksikonazol
Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau bedak kocok. Contoh nama merk dagang obat oksikonazol adalah oxistat (Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
f. Sulkonazol
Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio. Contoh nama merk dagang obat sulkonazol adalah exelderm (Wiederkehr, 2004).
g. Sertakonazol
Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawan Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Diindikasikan untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari baik dewasa maupun anak-anak (> 12 tahun). Contoh nama merk dagang obat sertakonazol adalah ertaczo (Rubeiz, 2004).
h. Bifonazol
Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa jenis jamur dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa kuman Gram positif. Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium dalam bentuk losio atau krim yang dikombinasikan bersama urea 40 % dengan bebat (Madani, 2000; Tjay dan Rahardja, 2003). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat bifonazol yaitu mycospor (Evaria, 2005).
6. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat fungisid terhadap Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis terhadap Malassezia furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah. Walaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu ter
hadap membran plasma sel jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim 1 %, jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur oral. (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Blumberg, 2005; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat siklopiroks yaitu batrafen dan loprox nail lacquer (Evaria, 2005).
b. Tolnaftat
Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang sangat efektif terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbiculare tetapi tidak terhadap Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat epoksidasi skualen pada membran sel jamur. Biasanya digunakan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu dan dilanjutkan 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusio dan bedak. Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin (Hardyanto, 1990; Wiederkehr, 2004, Siregar, 2005).
c. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum, Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 % dan solusio. Biasanya digunakan dalam waktu 2 – 4 minggu. Contoh nama merk dagang obat haloprogin adalah halotex (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004).
Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat antijamur oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika hanya mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas sehingga tidak efektif (Blumberg, 2005). Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama dengan pengobatan yang dilakukan pada tinea pedis (Madani, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalam Budimulja, U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds), Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 1 – 6.
Anonim, 2003, Fungus Infections : Tinea, /derm
” title=”http://www.emedicine.com/derm
” target=”_blank”>http://www.emedicine.com/derm
Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 89 – 105.
Cholis, M., 2001, Penatalaksanaan Tinea Glabrosa Dan Perkembangan Obat Antijamur baru, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang : 21 – 24.
Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan Wisnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta : 27 – 37.
Djuanda, A., 1994, Pengobatan Topikal Dalam Bidang Dermatologi, Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Dorland, 1996, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J., Ronardy, D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, Widianto, G., Wijaya, C. dan Winata, I. (eds), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937.
Evaria, 2005, MIMS Edisi Bahasa Indonesia, 6th vol, PT InfoMaster, Jakarta : 395 – 398.
Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 340 - 350.
Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati dan Soedarmadi (eds), Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 41 – 58.
Kao, G.F., 2005, Tinea Capitis,
” title=”http://www.emedicine.com/derm
” target=”_blank”>http://www.emedicine.com/derm
Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 10 – 44.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, 5th, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta: 91 – 104.
Wiederkehr, M., 2004, Tinea Cruris,
http://medicom.blogdetik.com/2009/03/10/dermatofitosis-2/