Bahan pewarna secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu benda berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap benda yang diwarnainya.
Bahan pewarna pada umumnya memiliki bentuk cair dan larut di air. Pada berbagai
situasi, proses pewarnaan menggunakan mordant untuk meningkatkan kemampuan
menempel bahan pewarna.
Bahan pewarna dan pigmen terlihat berwarna karena mereka
menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya. Berlawanan dengan bahan pewarna,
pigmen pada umumnya tidak dapat larut, dan tidak memiliki afinitas terhadap substrat.
Bukti arkeologi menunjukkan
bahwa, khususnya di India dan Timur Tengah, pewarna
telah digunakan selama lebih dari 5000 tahun. Bahan pewarna dapat diperoleh
dari hewan, tumbuhan, atau mineral. Pewarna
yang diperoleh dari bahan-bahan ini tidak memerlukan proses pengolahan yang
rumit. Sampai sejauh ini, sumber utama bahan pewarna adalah tumbuhan, khususnya
akar-akaran, beri-berian, kulit kayu, daun, dan kayu. Sebagian dari pewarna ini
digunakan dalam skala komersil.
Di
Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan
dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 mengenai bahan tambahan pangan. Akan tetapi seringkali
terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan,
misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan
pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu
logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara
lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk
pangan, dan disamping itu harga zat pewarna untuk industry jauh lebih murah
dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan bea
masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna
bahan non pangan. Lagipula warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya
lebih menarik.
Pewarna alami diperoleh dari tanaman ataupun hewan
yang berupa pigmen. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita
antara lain: klorofil (terdapat pada daun-daun berwarna hijau), karotenoid
(terdapat pada wortel dan sayuran lain berwarna oranye-merah). Umumnya,
pigmen-pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan pH
tertentu. Walau begitu, pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek
samping bagi tubuh (Anonim, 2008)
Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses
sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau dari bahan yang
mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi. Beberapa contoh
pewarna buatan yaitu :
- Warna kuning : tartrazin, sunset yellow
- Warna merah : allura, eritrosin, amaranth.
- Warna biru : biru berlian
·
Tabel : Pembagian pewarna sintetis berdasarkan
kemudahannya larut dalam air.
No
|
Pewarna
Sintetis
|
Warna
|
Mudah
larut di air
|
1
|
Rhodamin B
|
Merah
|
Tidak
|
2
|
Methanil Yellow
|
Kuning
|
Tidak
|
3
|
Malachite Green
|
Hijau
|
Tidak
|
4
|
Sunset Yelow
|
Kuning
|
Ya
|
5
|
Tatrazine
|
Kuning
|
Ya
|
6
|
Brilliant Blue
|
Biru
|
Ya
|
7
|
Carmoisine
|
Merah
|
Ya
|
8
|
Erythrosine
|
Merah
|
Ya
|
9
|
Fast Red E
|
Merah
|
Ya
|
10
|
Amaranth
|
Merah
|
Ya
|
11
|
Indigo Carmine
|
Biru
|
Ya
|
12
|
Ponceau 4R
|
Merah
|
Ya
|
·
Kelebihan pewarna buatan dibanding pewarna alami
adalah dapat menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil meski jumlah pewarna
yang digunakan hanya sedikit. Warna yang dihasilkan dari pewarna buatan akan
tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan, sedangkan
pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan
disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut
akan segera pudar ketika mengalami proses penggorengan (Anonim, 2008).
·
Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui
perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali
terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada
pembuatan zat pewarna organic sebelum mencapai produk akhir,harus melalui suatu
senyawa antara dulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali tertinggal
dalam hal akhir, atau berbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat
pewarna yang tidak boleh ada.
·
Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian
dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi
ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media
terhadap zat warna tersebut.
Makanan olahan seperti kue, permen, minuman suplemen,
dan es krim cenderung mengandung kadar pewarna tambahan (aditif)
yang tinggi. Pewarna tambahan, baik alami maupun buatan, digunakan dalam
industri makanan karena berbagai alasan, di antaranya untuk:
- mengimbangi pemudaran warna karena paparan cahaya, udara, perubahan suhu dan kelembaban
- memperbaiki variasi warna
- menguatkan warna yang terjadi secara alami
- mewarnai bahan makanan yang tak berwarna
- membuat makanan lebih menarik sehingga mengundang selera
Beberapa studi ilmiah telah mengaitkan penggunaan
pewarna buatan dengan hiperaktivitas pada anak-anak. Hiperaktivitas adalah
suatu kondisi di mana anak mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan
mengontrol perilaku mereka.
Pada bulan
November 2007, sebuah hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal medis
terkemuka Lancet mengungkapkan bahwa beberapa zat pewarna makanan
meningkatkan tingkat hiperaktivitas anak-anak
usia 3-9 tahun. Anak-anak yang mengkonsumsi makanan yang mengandung
pewarna buatan itu selama bertahun-tahun lebih berisiko menunjukkan
tanda-tanda hiperaktif. Selain risiko hiperaktif, sekelompok sangat kecil
dari populasi anak (sekitar 0,1%) juga mengalami efek samping lain seperti:
ruam, mual, asma, pusing dan
pingsan.
Berikut adalah beberapa jenis pewarna buatan yang
populer dan efek samping yang ditimbulkan:
1. Tartrazine (E102 atau Yellow
5)
Tartrazine adalah
pewarna kuning yang banyak digunakan dalam makanan dan obat-obatan. Selain
berpotensi meningkatkan hiperaktivitas anak, pada sekitar 1- 10 dari sepuluh
ribu orang , tartrazine menimbulkan efek samping langsung seperti
urtikaria (ruam kulit), rinitis
(hidung meler), asma, purpura (kulit lebam) dan anafilaksis sistemik
(shock). Intoleransi ini tampaknya lebih umum pada penderita asma atau
orang yang sensitif terhadap aspirin.
2. Sunset Yellow (E110,
Orange Yellow S atau Yellow 6)
Sunset Yellow adalah
pewarna yang dapat ditemukan dalam makanan seperti jus jeruk, es krim, ikan
kalengan, keju, jeli, minuman soda dan banyak obat-obatan. Untuk
sekelompok kecil individu, konsumsi pewarna aditif ini dapat menimbulkan
urtikaria, rinitis, alergi,
hiperaktivitas, sakit perut, mual, dan muntah.
Dalam beberapa penelitian ilmiah, zat ini telah
dihubungkan dengan peningkatan kejadian tumor pada hewan dan kerusakan
kromosom, namun kadar konsumsi zat ini dalam studi tersebut jauh lebih tinggi
dari yang dikonsumsi manusia. Kajian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
tidak menemukan bukti insiden tumor meningkat baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang karena konsumsi Sunset Yellow.
3. Ponceau 4R (E124 atau
SX Purple)
Ponceau 4R adalah
pewarna merah hati yang digunakan dalam berbagai produk, termasuk selai,
kue, agar-agar dan minuman ringan. Selain berpotensi memicu hiperaktivitas
pada anak, Ponceau 4R dianggap karsinogenik (penyebab kanker)
di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Norwegia, dan Finlandia. US Food
and Drug Administration (FDA) sejak tahun 2000 telah menyita permen dan
makanan buatan Cina yang mengandung Ponceau 4R. Pewarna aditif
ini juga dapat meningkatkan serapan aluminium sehingga melebihi batas
toleransi.
4. Allura Red (E129)
Allura Red adalah
pewarna sintetis merah jingga yang banyak digunakan pada permen dan minuman. Allura
Red sudah dilarang di banyak negara lain, termasuk Belgia, Perancis,
Jerman, Swedia, Austria dan Norwegia.
Sebuah studi menunjukkan bahwa reaksi
hipersensitivitas terjadi pada 15% orang yang mengkonsumsi Allura Red.
Dalam studi itu, 52 peserta yang telah menderita gatal-gatal atau ruam
kulit selama empat minggu atau lebih diikutkan dalam program diet yang
sama sekali tidak mengandung Allura Red dan makanan lain yang diketahui
dapat menyebabkan ruam atau gatal-gatal. Setelah tiga minggu tidak ada
gejala, para peserta kembali diberi makanan yang mengandung Allura Red
dan dimonitor. Dari pengujian itu, 15% kembali menunjukkan gejala ruam
atau gatal-gatal.
5. Quinoline Yellow (E104)
Pewarna makanan kuning ini digunakan dalam produk
seperti es krim dan minuman energi. Zat ini sudah dilarang di banyak negara
termasuk Australia, Amerika, Jepang dan Norwegia karena dianggap meningkatkan
risiko hiperaktivitas dan serangan asma.
Bahayanya
zat perwarna pada makanan
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna
berbahaya. Rhodamine B termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai
zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al.
2005). Namun demikian, penyalahgunaan rhodamine B sebagai zat pewarna pada
makanan masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media
massa. Sebagai contoh, rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman seperti
kerupuk, sambal botol dan sirup di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan
pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman ringan.
Rhodamine B termasuk zat yang
apabila diamati dari segi fisiknya cukup mudah untuk dikenali. Bentuknya
seperti kristal, biasanya berwarna hijau atau ungu kemerahan. Di samping itu
rhodamine juga tidak berbau serta mudah larut dalam larutan berwarna merah
terang berfluorescen. Zat pewarna ini mempunyai banyak sinonim, antara lain D
and C Red no 19, Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant
Pink B. Rhodamine biasa digunakan dalam industri tekstil. Pada awalnya zat ini
digunakan sebagai pewarna bahan kain atau pakaian. Campuran zat pewarna
tersebut akan menghasilkan warna-warna yang menarik. Bukan hanya di industri tekstil,
rhodamine B juga sangat diperlukan oleh pabrik kertas.
Fungsinya sama yaitu sebagai bahan pewarna kertas
sehingga dihasilkan warna-warna kertas yang menarik. Sayangnya zat yang
seharusnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan kertas tersebut digunakan pula
sebagai pewarna makanan.
Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai
1984 karena rhodamine B termasuk karsinogen yang kuat. Efek negatif lainnya
adalah menyebabkan gangguan fungsi hati atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya
kanker hati. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa zat pewarna tersebut
memang berbahaya bila digunakan pada makanan. Hasil suatu penelitian
menyebutkan bahwa pada uji terhadap mencit, rhodamine B menyebabkan terjadinya
perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya
mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan adanya
piknotik (sel yang melakukan pinositosis) dan hiperkromatik dari nukleus,
degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma.
Dalam analisis yang menggunakan metode destruksi yang
kemudian diikuti dengan analisis metode spektrofometri, diketahui bahwa sifat
racun rhodamine B tidak hanya disebabkan oleh senyawa organik saja tetapi juga
oleh kontaminasi senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi 1999).
Keberadaan kedua unsur tersebut menyebabkan rhodamine B berbahaya jika
digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik sekalipun. Hal ini
didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak
digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan
kontaminasi dalam makanan dapat terjadi salah satu diantaranya oleh zat pewarna
untuk tekstil.
Sumber
Pustaka:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_pewarna
diakses pada 18/10/2012, pukul 20:53
http://catatankimia.com/catatan/bahan-pewarna-makanan.html
diakses pada 18/10/2012 , pukul 21:12
http://majalahkesehatan.com/bahaya-efek-samping-pewarna-buatan/
diakses pada 18/10/2012 , pukul 21:16
http://wahabxxxxx.wordpress.com/2011/11/25/bahayanya-zat-perwarna-pada-makanan/
diakses pada 18/10/2012 , pukul 21:21
0 komentar:
Posting Komentar